Deadly collision in Straits of Malacca
Tubrukan
terjadi sekitar 10 mil laut (12 mil) barat daya dari Port Dickson di
dalam Status(negara yang orang Malaysia dari Negeri Sembilan pada 9
sore. waktu setempat di Aug. 18, Agen Penyelenggaraan Bahari dari
Malaysia berkata dalam statemen hari ini yang publikasikan. , kapal
tanker yg terlibat dalam peristiwa tsb, sudah amankan pihak yg berwenang
malaysia(Port Dickson untuk penyelidikan, dari informasi media
setempat.
mengapa banyak Kapal-kapal membuat track
pelayaran melalui selat Malaka di karenakan bisa mempersingkat jalur
pelayaran sejauh 994 mil dari asia tengarah ke Timur Tengah, perjalanan
via Sunda straits jelas tidak efisien dan ekonomis. Peristiwa menyoroti
resiko untuk kapal yg melayari selat malaka yg terus meningkat
kepadatan lalu lintas air di sana, selat malaka terletak di antara
Malaysia, Indonesia dan singapore data jumlah kapal yg melalui selat
tsb sebanyak 90,000 kapal setiap tahun. Sekitar 33 persen dari minyak
mentah diangkut dengan kapal kapal internasional melalui jalur malaka
strait sepanjang 600-mile (965-
kilometer) dan kepadatannya hampir enam
kali lebih sibuk dibanding Suez Canal. Jika kita melihat kebelakang ke
negara kita hampir semua Kecelakaan angkutan laut yang menelan banyak
korban jiwa dan harta benda terjadi silih berganti. Namun, akar penyebab
kecelakaan angkutan laut yang secara prinsip merupakan fenomena “gegar”
regulasi itu belum ditangani secara serius oleh pemerintah, khususnya
departemen perhubungan.
Akibatnya bahaya maut selalu mengintai
pengguna jasa angkutan laut setiap saat. Seperti halnya kecelakaan KMP
Tri Star yang tenggelam di perairan Palembang dan kecelakaan kapal
Senopati Nusantara di perairan Jepara baru-baru ini. Hingga saat ini
pemerintah belum mampu mengatasi persoalan angkutan laut yang esensial
yang menyangkut sistem pemeriksaan kepelabuhan, kelayakan kapal, hingga
buruknya manajemen perusahaan pelayaran.
Pelanggaran Regulasi
Angkutan laut merupakan moda transportasi
yang sarat regulasi. Untuk itu, Indonesia harus meratifikasi berbagai
konvensi yang dikeluarkan oleh The United Nations Convention on the Law
of the Sea (UNCLOS) serta berkewajiban mentaati berbagai regulasi.
Di PBB ada badan khusus yang menangani
bidang maritim, yakni International Maritime Organization (IMO), yang
secara umum mengatur keamanan angkutan laut, pencegahan polusi serta
persyaratan, pelatihan dan pendidikan awak kapal.
Dengan adanya IMO tiap negara anggota
(flag state) mempunyai tanggung jawab untuk melakukan berbagai konvensi
internasional bagi kapal-kapal yang mengibarkan bendera negaranya.
Namun hingga saat ini kondisi kapal-kapal
berbendera Indonesia masih banyak yang tidak mampu memenuhi ketentuan
IMO, bahkan banyak terjadi pelanggaran regulasi.
Prinsip dasar keselamatan pelayaran
menyatakan bahwa kapal yang hendak berlayar harus berada dalam kondisi
seaworthiness atau laik laut. Artinya, kapal harus mampu menghadapi
berbagai case atau kejadian alam secara wajar dalam dunia pelayaran.
Selain itu kapal layak menerima muatan dan mengangkutnya serta
melindungi keselamatan muatan dan anak buah kapal (ABK)-nya. Kelayakan
kapal mensyaratkan bangunan kapal dan kondisi mesin dalam keadaan baik.
Nakhoda dan ABK harus berpengalaman dan bersertifikat. Perlengkapan,
store dan bunker, serta alat-alat keamanan memadai dan memenuhi syarat.
Dan yang tidak kalah penting adalah selama beroperasi di laut kapal
tidak boleh mencemari lingkungan.
Kondisi di lapangan terutama di pelosok
tanah air menunjukkan bahwa aturan yang menyangkut pelaporan sistem
manajemen keselamatan (safety management system) sering dimanipulasi.
Padahal untuk menjaga keselamatan kapal dan lingkungan, diberlakukan sistem ISM Code yang disertai dengan Designated Person Ashore (DPA) untuk pengawasan kapal dan mana- jemen perusahaan secara periodik. Tujuan dari ISM Code
adalah untuk memberikan standar internasional mengenai mana- jemen dan
operasi kapal yang aman dan mencegah terjadinya pencemaran. Bagi kapal
yang memenuhi regulasi akan diberikan Safety Management Certificate (SMC) sedang manajemen perusahaan pelayaran yang memenuhi regulasi diberikan Document of Compliance (DOC) oleh Biro Klasifikasi Indonesia.
Sistem Komunikasi
Penyebab kecelakaan angkutan laut yang
diakibatkan cuaca badai atau gelombang pasang relatif mudah
ditanggulangi, karena adanya sistem komunikasi dan laporan BMG yang
semakin cepat dan akurat.
Namun pemicu terjadinya kecelakaan
angkutan laut akhir-akhir ini lebih disebabkan oleh pelanggaran regulasi
serta mudahnya Petugas Pemeriksa Kepelabuhanan (PPK) melakukan
manipulasi dalam menjalankan tugasnya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa
begitu mudahnya memanipulasi sertifikat dan dokumen untuk kapal-kapal
yang sudah tua serta secara teknis tidak memenuhi kaedah seaworthiness
tetapi begitu saja “disulap” sehingga bisa bebas ber- operasi.
Begitu pula, penanganan kecelakaan laut
selama ini lebih bersifat administratif dan dokumentatif yang mana
terapinya jauh dari akar persoalan keselamatan pelayaran. Kondisinya
masih diperparah lagi dengan belum optimalnya fungsi tugas Mahkamah
Maritim seperti di negara-ne- gara lain.
Akibatnya, saat terjadi kecelakaan, jaksa
yang menangani perkara tersebut kurang menguasai seluk-beluk teknis yang
menjadi penyebab kecelakaan angkutan laut. Dampaknya berbagai perkara
kecelakaan di laut baik dalam “skala Tampomas” hingga skala yang lebih
kecil tidak pernah tuntas.Hingga saat ini pemerintah, khususnya otoritas
perhubungan laut, masih gagal menjalankan kewenangan PPK sesuai dengan
IMO Resolution A 787 (19). Dalam hal ini implementasi port state control
yang menghindarkan kapal dalam keadaan tidak aman belum dijalankan
secara baik. PPK di pelabuhan-pelabuhan Indonesia masih belum melakukan
penilaian dan pertimbangan secara profesional terhadap kelaikan kapal.
Sehingga accidental damage atau kerusakan secara tak terduga sering
dialami oleh kapal pada saat berlayar. Seharusnya PPK lebih berani
melakukan detention order atau perintah penahanan terhadap kapal yang
tidak laik.
Selama ini proses pemeriksaan oleh PPK atau Port State Control Officer (PSCO)
lebih terkesan formalitas semu bahkan nampak basa-basi. Dilain pihak
data statistik IMO menunjukkan bahwa 80 persen dari semua kecelakaan
kapal di laut disebabkan oleh kesalahan manusia akibat buruknya sistem
manajemen perusahaan pemilik kapal. Oleh karena ada penekanan khusus
bahwa perusahaan pelayaran harus bertanggungjawab atas keselamatan kapal
selain nakhoda, perwira serta ABK dari kapal itu.
Selain itu UU No 21 Tahun 1992 tentang pelayaran telah meratifikasi dan memberlakukan konvensi IMO.
Aspek Perlindungan
Yang mana terkandung beberapa konvensi antara lain
Safety of Life at Sea (SOLAS), Convention 1974/78, yakni konvensi yang
mencakup aspek keselamatan kapal, termasuk konstruksi, navigasi, dan
komunikasi. Juga masalah Marine Pol- lution Prevention (Marpol), Convention 1973/78,
yakni konven- si yang membahas aspek per- lindungan lingkungan,
khususnya pencegahan pencemaran yang berasal dari kapal, alat apung dan
usaha penanggulangannya.Selain itu juga Standard of Training Certification and Watchkeeping of Seafarers (SCTW)
merupakan konvensi yang berisi tentang persyaratan minimum pendidikan
atau pe- latihan yang harus dipenuhi oleh ABK untuk bekerja sebagai
pelaut. Namun, berbagai konvensi tersebut masih belum diaplikasikan
dengan baik, masih menjadi hiasan meja pejabat departemen perhubungan.
Akibatnya sektor perhubungan laut di republik ini selalu dicengkeram
oleh mara bahaya yang sewaktu-waktu bisa menelan korban jiwa dan harta
benda pengguna jasa angkutan laut.
Komentar
Posting Komentar